Dimensi-dimensi Kurikulum
Setiap pengertian kurikulum bukan hanya
menunjukkan rumusan definisi dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan tanpa
makna, tetapi juga menggambarkan scope and squences isi
kurikulum, komponen-komponen kurikulum, dan aspek-aspek kegiatan kurikulum.
William H.Schubert (1986), merinci pengertian kurikulum dalam berbagai dimensi,
yaitu “kurikulum sebagai content atau subject matter, kurikulum sebagai program
of planned activities, kurikulum sebagai intended learning outcomes,
kurikulum sebagai cultural reproduction, kurikulum sebagai experience,
kurikulum sebagai discrete tasks and concepts, kurikulum sebagai agenda
for social reconstruction, dan kurikulum sebagai currere”.
George A.Beauchamp (1975) mengemukakan “in my opinion, there are three
ways in which the term curriculum is most legitimately used. An individual, for
instance, may legitimately speak of a curriculum…refer to a curriculum system…
to identify a field of study”. S.Hamid Hasan (1988), berpendapat ada empat
dimensi kurikulum yang saling berhubungan, yaitu “kurikulum sebagai suatu ide
atau konsepsi, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai
suatu kegiatan (proses), dan kurikulum sebagai suatu hasil belajar”.
Selanjutnya, Nana Sy.Sukmadinata (2005) meninjau kurikulum dari tiga dimensi,
yaitu “kurikulum sebagai ilmu, kurikulum sebagai sistem, dan kurikulum sebagai
rencana”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak
ada enam dimensi kurikulum, yaitu :
1. Kurikulum sebagai suatu ide
Ide atau konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu
berubah mengikuti perkembangan zaman, minat dan kebutuhan peserta didik,
tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ide atau gagasan tentang
kurikulum hanya ada dalam pemikiran seseorang yang terlibat dalam proses
pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti Kepala Dinas
Pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru, peserta didik, orang tua, dan
sebagainya. Ketika orang berpikir tentang tujuan sekolah, materi yang harus
disampaikan kepada peserta didik, kegiatan yang harus dilakukan oleh guru,
orang tua dan peserta didik, objek evaluasi, maka itulah dimensi kurikulum
sebagai suatu ide atau konsepsi. Paling tidak itulah konsep kurikulum menurut
mereka. Ide atau konsepsi kurikulum setiap orang tentu berbeda, sekalipun
orang-orang tersebut berada dalam satu keluarga. Perbedaan ide dari orang-orang
tersebut sangat penting untuk dianalisis bahkan dapat dijadikan landasan
pengembangan kurikulum.
Dimensi kurikulum sebagai suatu ide, biasanya dijadikan langkah awal
dalam pengembangan kurikulum, yaitu ketika melakukan studi pendapat. Dari
sekian banyak ide-ide yang berkembang dalam studi pendapat tersebut, maka akan
dipilih dan ditentukan ide-ide mana yang dianggap paling kreatif, inovatif, dan
konstruktif sesuai dengan visi-misi dan tujuan pendidikan nasional. Pemilihan
ide-ide tersebut pada akhirnya akan dipilih dalam sebuah pertemuan konsultatif
berdasarkan tingkat pengambil keputusan yang tertinggi. Di Indonesia, pengambil
keputusan yang tertinggi adalah Menteri Pendidikan Nasional. Beliau juga
sebagai penentu kebijakan kurikulum yang berlaku secara nasional. Mengingat
pengaruhnya yang begitu kuat dan besar, serta memiliki kedudukan yang sangat
strategis, maka tim pengembang kurikulum biasanya akan mengacu kepada ide atau
konsep kurikulum menurut menteri tersebut. Selanjutnya, ide-ide Mendiknas
dituangkan dalam sebuah kebijakan umum sampai menjadi dimensi kurikulum sebagai
rencana.
2. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
Dimensi kurikulum sebagai rencana biasanya tertuang dalam suatu dokumen
tertulis. Dimensi ini menjadi banyak perhatian orang, karena wujudnya
dapat dilihat, mudah dibaca dan dianalisis. Dimensi kurikulum ini pada dasarnya
merupakan realisasi dari dimensi kurikulum sebagai ide. Aspek-aspek penting
yang perlu dibahas, antara lain : pengembangan tujuan dan kompetensi, struktur
kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, organisasi kurikulum, manajemen
kurikulum, hasil belajar, dan sistem evaluasi. Kurikulum sebagai ide harus
mengikuti pola dan ketentuan-ketentuan kurikulum sebagai rencana. Dalam
praktiknya, seringkali kurikulum sebagai rencana banyak mengalami kesulitan,
karena ide-ide yang ingin disampaikan terlalu umum dan banyak yang tidak
dimengerti oleh para pelaksana kurikulum.
3. Kurikulum sebagai suatu kegiatan
Kurikulum dalam dimensi ini merupakan kurikulum yang sesungguhnya terjadi
di lapangan (real curriculum). Peserta didik mungkin saja memikirkan
kurikulum sebagai ide, tetapi apa yang dialaminya merupakan kurikulum sebagai
kenyataan. Antara ide dan pengalaman mungkin sejalan tetapi mungkin juga tidak.
Banyak ahli kurikulum yang masih mempertentangkan dimensi ini, dalam arti
apakah sesuatu kegiatan termasuk kurikulum atau bukan. Misalnya, MacDonald
(1965), Johnson (1971), Popham dan Baker (1970), Inlow (1973), dan Beauchamp
(1975) tidak menganggap suatu kegiatan sebagai kurikulum. Bagi Beauchamp,
kurikulum adalah a written document yang masuk dalam dimensi rencana,
sedangkan ahli lainnya melihat kurikulum hanya sebagai hasil belajar. Namun
demikian, banyak juga ahli kurikulum lain yang mengatakan suatu kegiatan atau
proses termasuk kurikulum, seperti Frost dan Rowland (1969), Zais (1976), Egan
(1978), Hunkins (1980), Tanner and Tanner (1980), serta Schubert (1986).
Kurikulum harus dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Jika suatu
kegiatan tidak termasuk kurikulum berarti semua kegiatan di sekolah atau di
luar sekolah (seperti program latihan profesi, kuliah kerja nyata, dan
lain-lain) tidak termasuk kurikulum. Dengan demikian, hasil belajar peserta
didik juga bukan kurikulum. Padahal apa yang diperoleh peserta didik di sekolah
maupun di luar sekolah merupakan refleksi dan realisasi dari dimensi kurikulum
sebagai rencana tertulis. Apa yang dilakukan peserta didik di kelas juga
merupakan implementasi kurikulum. Artinya, antara kurikulum sebagai ide dengan
kurikulum sebagai kegiatan (proses) merupakan suatu rangkaian yang
berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh. Tidak ada alasan untuk mengatakan
dimensi kurikulum sebagai suatu kegiatan bukan merupakan kurikulum, karena
semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah
merupakan bagian dari kurikulum.
4.
Kurikulum sebagai hasil belajar
Hasil belajar adalah kurikulum tetapi kurikulum bukan hasil belajar.
Pernyataan ini perlu dipahami sejak awal, karena banyak orang tahu bahwa hasil
belajar merupakan bagian dari kurikulum, tetapi kurikulum bukan hanya hasil
belajar. Banyak juga orang tidak tahu bahwa pengertian kurikulum dapat dilihat
dari dimensi hasil belajar, karena memang tidak dirumuskan secara formal.
Begitu juga ketika dilakukan evaluasi secara formal tentang kurikulum, pada
umumnya orang selalu mengaitkannya dengan hasil belajar. Sekalipun, evaluasi
kurikulum sebenarnya jauh lebih luas daripada penilaian hasil belajar. Artinya,
hasil belajar bukan satu-satunya objek evaluasi kurikulum. Namun demikian,
hasil belajar dapat dijadikan sebagai salah satu dimensi pengertian kurikulum.
Evaluasi kurikulum ditujukan untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi
kurikulum, sedangkan fungsinya adalah untuk memperbaiki, menyempurnakan atau
mengganti kurikulum dalam dimensi sebagai rencana.
Hasil belajar sebagai bagian dari kurikulum terdiri atas berbagai domain,
seperti pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai. Secara teoritis,
domain hasil belajar tersebut dapat dipisahkan, tetapi secara praktis domain
tersebut harus bersatu. Hasil belajar juga banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor, diantaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan lingkungan.
Kurikulum sebagai hasil belajar merupakan kelanjutan dan dipengaruhi oleh
kurikulum sebagai kegiatan serta kurikulum sebagai ide. Menurut Zainal Arifin
(2009) hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu “sebagai indikator
kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik, sebagai
lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dalam inovasi
pendidikan, sebagai indikator interen dan eksteren dari suatu institusi
pendidikan, dan dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan)
peserta didik”.
5.
Kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu
Sebagai suatu disiplin ilmu, berarti kurikulum memiliki konsep, prinsip,
prosedur, asumsi, dan teori yang dapat dianalisis dan dipelajari oleh pakar
kurikulum, peneliti kurikulum, guru atau calon guru, kepala sekolah, pengawas
atau tenaga kependidikan lainnya yang ingin mempelajari tentang kurikulum. Di
Indonesia, pada tingkat sekolah menengah pernah ada Sekolah Pendidikan Guru
(SPG), Sekolah Guru Atas, Pendidikan Guru Agama (PGA) dan lain-lain. Pada
tingkat universitas ada juga program studi pengembangan kurikulum, baik di
jenjang S.1 (sarjana), S.2 (magister) maupun S.3 (Doktor). Semua peserta
didiknya wajib mempelajari tentang kurikulum. Tujuan kurikulum sebagai suatu
disiplin ilmu adalah untuk mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem
kurikulum.
6.
Kurikulum sebagai suatu sistem
Sistem kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem
pendidikan, sistem persekolahan, dan sistem masyarakat. Suatu sitem kurikulum
di sekolah merupakan sistem tentang kurikulum apa yang akan disusun dan
bagaimana kurikulum itu dilaksanakan. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa
sistem kurikulum mencakup tahap-tahap pengembangan kurikulum itu sendiri, mulai
dari perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum, evaluasi kurikulum,
perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Kurikulum sebagai suatu sistem juga
menggambarkan tentang komponen-komponen kurikulum.
SUMBER
:
Arifin, Zainal
(2013), Konsep dan Model Pengembangan
Kurikulum, Cetakan Ke-3, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
http://www.4shared.com/office/tnIwZCxgce/Dimensi-dimensi_Kurikulum.html
http://www.4shared.com/office/tnIwZCxgce/Dimensi-dimensi_Kurikulum.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar