Jumat, 04 April 2014

Dimensi-dimensi Kurikulum



Dimensi-dimensi Kurikulum
Setiap pengertian kurikulum bukan hanya menunjukkan rumusan definisi dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan tanpa makna, tetapi juga menggambarkan scope and squences isi kurikulum, komponen-komponen kurikulum, dan aspek-aspek kegiatan kurikulum. William H.Schubert (1986), merinci pengertian kurikulum dalam berbagai dimensi, yaitu “kurikulum sebagai content atau subject matter, kurikulum sebagai program of planned activities, kurikulum sebagai intended learning outcomes, kurikulum sebagai cultural reproduction, kurikulum sebagai experience, kurikulum sebagai discrete tasks and concepts, kurikulum sebagai agenda for social reconstruction, dan kurikulum sebagai currere”.
George A.Beauchamp (1975) mengemukakan “in my opinion, there are three ways in which the term curriculum is most legitimately used. An individual, for instance, may legitimately speak of a curriculum…refer to a curriculum system… to identify a field of study”. S.Hamid Hasan (1988), berpendapat ada empat dimensi kurikulum yang saling berhubungan, yaitu “kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan kurikulum sebagai suatu hasil belajar”. Selanjutnya, Nana Sy.Sukmadinata (2005) meninjau kurikulum dari tiga dimensi, yaitu “kurikulum sebagai ilmu, kurikulum sebagai sistem, dan kurikulum sebagai rencana”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada enam dimensi kurikulum, yaitu :
1.      Kurikulum sebagai suatu ide
Ide atau konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman, minat dan kebutuhan peserta didik, tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ide atau gagasan tentang kurikulum hanya ada dalam pemikiran seseorang yang terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti Kepala Dinas Pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru, peserta didik, orang tua, dan sebagainya. Ketika orang berpikir tentang tujuan sekolah, materi yang harus disampaikan kepada peserta didik, kegiatan yang harus dilakukan oleh guru, orang tua dan peserta didik, objek evaluasi, maka itulah dimensi kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi. Paling tidak itulah konsep kurikulum menurut mereka. Ide atau konsepsi kurikulum setiap orang tentu berbeda, sekalipun orang-orang tersebut berada dalam satu keluarga. Perbedaan ide dari orang-orang tersebut sangat penting untuk dianalisis bahkan dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.
Dimensi kurikulum sebagai suatu ide, biasanya dijadikan langkah awal dalam pengembangan kurikulum, yaitu ketika melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak ide-ide yang berkembang dalam studi pendapat tersebut, maka akan dipilih dan ditentukan ide-ide mana yang dianggap paling kreatif, inovatif, dan konstruktif sesuai dengan visi-misi dan tujuan pendidikan nasional. Pemilihan ide-ide tersebut pada akhirnya akan dipilih dalam sebuah pertemuan konsultatif berdasarkan tingkat pengambil keputusan yang tertinggi. Di Indonesia, pengambil keputusan yang tertinggi adalah Menteri Pendidikan Nasional. Beliau juga sebagai penentu kebijakan kurikulum yang berlaku secara nasional. Mengingat pengaruhnya yang begitu kuat dan besar, serta memiliki kedudukan yang sangat strategis, maka tim pengembang kurikulum biasanya akan mengacu kepada ide atau konsep kurikulum menurut menteri tersebut. Selanjutnya, ide-ide Mendiknas dituangkan dalam sebuah kebijakan umum sampai menjadi dimensi kurikulum sebagai rencana.
2.      Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
Dimensi kurikulum sebagai rencana biasanya tertuang dalam suatu dokumen tertulis. Dimensi ini menjadi banyak perhatian orang, karena wujudnya dapat dilihat, mudah dibaca dan dianalisis. Dimensi kurikulum ini pada dasarnya merupakan realisasi dari dimensi kurikulum sebagai ide. Aspek-aspek penting yang perlu dibahas, antara lain : pengembangan tujuan dan kompetensi, struktur kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, organisasi kurikulum, manajemen kurikulum, hasil belajar, dan sistem evaluasi. Kurikulum sebagai ide harus mengikuti pola dan ketentuan-ketentuan kurikulum sebagai rencana. Dalam praktiknya, seringkali kurikulum sebagai rencana banyak mengalami kesulitan, karena ide-ide yang ingin disampaikan terlalu umum dan banyak yang tidak dimengerti oleh para pelaksana kurikulum.
3.      Kurikulum sebagai suatu kegiatan
Kurikulum dalam dimensi ini merupakan kurikulum yang sesungguhnya terjadi di lapangan (real curriculum). Peserta didik mungkin saja memikirkan kurikulum sebagai ide, tetapi apa yang dialaminya merupakan kurikulum sebagai kenyataan. Antara ide dan pengalaman mungkin sejalan tetapi mungkin juga tidak. Banyak ahli kurikulum yang masih mempertentangkan dimensi ini, dalam arti apakah sesuatu kegiatan termasuk kurikulum atau bukan. Misalnya, MacDonald (1965), Johnson (1971), Popham dan Baker (1970), Inlow (1973), dan Beauchamp (1975) tidak menganggap suatu kegiatan sebagai kurikulum. Bagi Beauchamp, kurikulum adalah a written document yang masuk dalam dimensi rencana, sedangkan ahli lainnya melihat kurikulum hanya sebagai hasil belajar. Namun demikian, banyak juga ahli kurikulum lain yang mengatakan suatu kegiatan atau proses termasuk kurikulum, seperti Frost dan Rowland (1969), Zais (1976), Egan (1978), Hunkins (1980), Tanner and Tanner (1980), serta Schubert (1986).
Kurikulum harus dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Jika suatu kegiatan tidak termasuk kurikulum berarti semua kegiatan di sekolah atau di luar sekolah (seperti program latihan profesi, kuliah kerja nyata, dan lain-lain) tidak termasuk kurikulum. Dengan demikian, hasil belajar peserta didik juga bukan kurikulum. Padahal apa yang diperoleh peserta didik di sekolah maupun di luar sekolah merupakan refleksi dan realisasi dari dimensi kurikulum sebagai rencana tertulis. Apa yang dilakukan peserta didik di kelas juga merupakan implementasi kurikulum. Artinya, antara kurikulum sebagai ide dengan kurikulum sebagai kegiatan (proses) merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh. Tidak ada alasan untuk mengatakan dimensi kurikulum sebagai suatu kegiatan bukan merupakan kurikulum, karena semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan bagian dari kurikulum.
4.      Kurikulum sebagai hasil belajar
Hasil belajar adalah kurikulum tetapi kurikulum bukan hasil belajar. Pernyataan ini perlu dipahami sejak awal, karena banyak orang tahu bahwa hasil belajar merupakan bagian dari kurikulum, tetapi kurikulum bukan hanya hasil belajar. Banyak juga orang tidak tahu bahwa pengertian kurikulum dapat dilihat dari dimensi hasil belajar, karena memang tidak dirumuskan secara formal. Begitu juga ketika dilakukan evaluasi secara formal tentang kurikulum, pada umumnya orang selalu mengaitkannya dengan hasil belajar. Sekalipun, evaluasi kurikulum sebenarnya jauh lebih luas daripada penilaian hasil belajar. Artinya, hasil belajar bukan satu-satunya objek evaluasi kurikulum. Namun demikian, hasil belajar dapat dijadikan sebagai salah satu dimensi pengertian kurikulum. Evaluasi kurikulum ditujukan untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi kurikulum, sedangkan fungsinya adalah untuk memperbaiki, menyempurnakan atau mengganti kurikulum dalam dimensi sebagai rencana.
Hasil belajar sebagai bagian dari kurikulum terdiri atas berbagai domain, seperti pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai. Secara teoritis, domain hasil belajar tersebut dapat dipisahkan, tetapi secara praktis domain tersebut harus bersatu. Hasil belajar juga banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan lingkungan. Kurikulum sebagai hasil belajar merupakan kelanjutan dan dipengaruhi oleh kurikulum sebagai kegiatan serta kurikulum sebagai ide. Menurut Zainal Arifin (2009) hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu “sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik, sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan, sebagai indikator interen dan eksteren dari suatu institusi pendidikan, dan dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan) peserta didik”.
5.      Kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu
Sebagai suatu disiplin ilmu, berarti kurikulum memiliki konsep, prinsip, prosedur, asumsi, dan teori yang dapat dianalisis dan dipelajari oleh pakar kurikulum, peneliti kurikulum, guru atau calon guru, kepala sekolah, pengawas atau tenaga kependidikan lainnya yang ingin mempelajari tentang kurikulum. Di Indonesia, pada tingkat sekolah menengah pernah ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Guru Atas, Pendidikan Guru Agama (PGA) dan lain-lain. Pada tingkat universitas ada juga program studi pengembangan kurikulum, baik di jenjang S.1 (sarjana), S.2 (magister) maupun S.3 (Doktor). Semua peserta didiknya wajib mempelajari tentang kurikulum. Tujuan kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu adalah untuk mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum.
6.      Kurikulum sebagai suatu sistem
Sistem kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan, sistem persekolahan, dan sistem masyarakat. Suatu sitem kurikulum di sekolah merupakan sistem tentang kurikulum apa yang akan disusun dan bagaimana kurikulum itu dilaksanakan. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa sistem kurikulum mencakup tahap-tahap pengembangan kurikulum itu sendiri, mulai dari perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum, evaluasi kurikulum, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Kurikulum sebagai suatu sistem juga menggambarkan tentang komponen-komponen kurikulum.

SUMBER :
Arifin, Zainal (2013), Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Cetakan Ke-3, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
http://www.4shared.com/office/tnIwZCxgce/Dimensi-dimensi_Kurikulum.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar